PMII INSYA Meneguhkan Eksistensi Santri sebagai Penjaga Nalar Kritis Umat

iaisyaichona.ac.id — Dalam momentum Hari Santri Nasional 2025, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil (INSYA) Bangkalan meneguhkan komitmennya untuk melahirkan kader santri yang bukan hanya religius secara spiritual, tetapi juga kritis secara intelektual. Di tengah derasnya arus isu publik tentang Islam dan pesantren, PMII INSYA memandang perlu hadirnya narasi tandingan yang beradab dan berilmu—sebuah narasi yang lahir dari nalar santri yang terdidik dan tercerahkan.

Beberapa waktu terakhir, wacana publik di Indonesia dipenuhi pemberitaan yang mengarah ke dunia Islam dan pesantren, baik dalam bentuk stigma, kritik, maupun kontroversi yang tidak jarang mengabaikan konteks substantif. Dalam konteks ini, M. Willdan Al Baihaqi, selaku Wakil Ketua PMII INSYA, menegaskan bahwa santri tidak boleh diletakkan sebagai objek isu publik, melainkan harus tampil sebagai subjek peradaban yang ikut membangun arah berpikir masyarakat.

“Santri hari ini harus berdiri tegak di antara dua dunia: teks dan konteks. Ia membaca kitab, tapi juga membaca realitas. Ia belajar dari ulama, tapi juga berdialog dengan zaman,” ungkap Willdan dalam wawancara reflektifnya.

Menurutnya, pesantren telah membuktikan diri sebagai pusat peradaban ilmu dan etika yang melahirkan tokoh-tokoh besar bangsa, dari KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, hingga Gus Dur—tokoh yang memadukan keislaman dengan kebangsaan secara humanis.

“Maka, kader santri PMII harus meneruskan warisan itu, bukan hanya dengan romantisme sejarah, tapi dengan kerja intelektual yang berkelanjutan,” tegasnya.

Dalam pandangan PMII INSYA, posisi santri di era kontemporer adalah sebagai penjaga nalar kritis umat. Di tengah gempuran disinformasi dan polarisasi sosial, keberadaan santri menjadi penting sebagai penyeimbang wacana publik.

Merujuk pada gagasan Jürgen Habermas (1984) tentang public sphere, santri memiliki peran untuk menjaga ruang publik tetap rasional melalui komunikasi yang berbasis pengetahuan dan moralitas. Pesantren, dalam hal ini, adalah “arena publik keagamaan” yang membentuk pola pikir masyarakat agar tidak terjebak pada fanatisme buta.

“Tugas santri bukan hanya menjaga akidah, tapi juga menjaga akal. Karena agama tanpa rasionalitas akan kehilangan arah, sementara rasionalitas tanpa moralitas akan kehilangan makna,” tambah Willdan.

Ia menilai, PMII sebagai organisasi kaderisasi intelektual-santri memiliki tanggung jawab moral untuk menghadirkan wajah Islam yang ramah, bukan marah; yang berpikir, bukan mengafirkan. Hal ini sejalan dengan nilai dasar pergerakan PMII — dzikir, fikir, dan amal saleh — yang menegaskan keseimbangan antara spiritualitas, intelektualitas, dan sosialitas.

Era digital melahirkan tantangan baru bagi dunia santri. Informasi yang masif dan tidak tersaring menuntut kemampuan literasi tinggi. Dalam konteks ini, PMII INSYA mendorong kader-kadernya untuk menjadi “santri digital” — mereka yang tidak hanya mengaji kitab kuning, tapi juga “mengaji” media dan algoritma.

Willdan mengutip gagasan Toffler (1980) tentang The Third Wave, bahwa masyarakat modern sedang bergeser dari era industri menuju era informasi, di mana kekuasaan berpindah dari kepemilikan tanah dan modal menjadi kepemilikan data dan ide.

“Di sinilah pentingnya kader santri memahami bahwa jihad intelektual masa kini adalah jihad literasi,” jelasnya.

PMII INSYA melalui berbagai kegiatan kaderisasi berupaya memperkuat kapasitas santri dalam memahami isu sosial, hukum, dan keagamaan secara kontekstual. Dengan pendekatan multidisipliner, kader PMII INSYA diarahkan agar mampu berdialektika antara ilmu agama dan ilmu sosial — menafsirkan kitab dengan teori, dan menafsirkan realitas dengan nilai.

Hari Santri Nasional bukan sekadar seremonial mengenang Resolusi Jihad 1945, melainkan momentum untuk memperkuat kesadaran aksi (action awareness). Spirit perjuangan ulama dan santri dahulu harus diterjemahkan dalam konteks modern, yaitu perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, dan kebohongan publik.

“Santri hari ini harus menulis sejarah baru dengan tinta intelektualitas dan pena keadaban,” tutur Willdan. “Dari pesantren ke publik, dari kitab ke masyarakat — santri harus mampu hadir sebagai penjaga nalar dan penjaga moral bangsa.”

Menurutnya, inilah makna sejati Hari Santri: bukan nostalgia masa lalu, tapi penegasan peran masa depan. Santri tidak boleh eksklusif di balik tembok pesantren, melainkan harus inklusif dalam ruang publik, membawa nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin sebagai solusi, bukan alat polarisasi.

Sebagai lembaga kaderisasi mahasiswa-santri, PMII INSYA terus berkomitmen untuk melahirkan generasi berwawasan luas dan berakar kuat. Melalui forum-forum intelektual, pelatihan kaderisasi, dan gerakan sosial keagamaan, PMII INSYA berusaha menyiapkan santri yang adaptif terhadap zaman tanpa kehilangan identitasnya.

Nilai keislaman yang moderat dan kebangsaan yang kokoh menjadi dua sayap ideologis PMII INSYA dalam menjawab tantangan zaman. Kader santri diharapkan menjadi penengah dalam konflik sosial, sekaligus pelopor gagasan di tengah stagnasi moral masyarakat.

Sebagaimana disebut Gus Dur (1999),

“Santri harus menjadi juru bicara nilai-nilai kemanusiaan universal, sebab Islam datang bukan untuk menguasai manusia, melainkan untuk memanusiakan manusia.”

Momentum Hari Santri Nasional 2025 menjadi ruang reflektif bagi seluruh kader PMII INSYA Bangkalan untuk meneguhkan kembali semangat intelektual dan sosial santri. Bahwa di tengah derasnya perubahan, santri tetaplah mercusuar moral bangsa — berdiri tegak antara tradisi dan inovasi, antara teks dan realitas, antara Islam dan Indonesia.

“Santri bukan hanya penerus sejarah, tetapi penulis bab baru peradaban. Dan PMII hadir untuk memastikan setiap kalimat sejarah itu ditulis dengan nalar, dengan nilai, dan dengan nurani,” pungkas Willdan.

Pos terkait